TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik terkait Undang-Undang Cipta Kerja hingga belum juga selesai.
Meski Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai dan tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan tersebut dibacakan.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan DPP PKS Martri Agoeng menegaskan sikap PKS untuk terus menyuarakan penolakan terhadap UU Cipta Kerja.
Sebab dampak negatifnya bukan hanya kepada para pekerja tetapi juga ke lingkungan hidup, dan juga berdampak terhadap UU Pemerintah Daerah, dimana kepala daerah menjadi tersandera oleh UU tersebut.
Hal itu disampaikannya dalam Webinar “Omnibus Law Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, tetapi UU No 12/2011 Yang Terima Akibat?” yang digelar Departemen Advokasi Bidang Ketenagakerjaan DPP PKS.
"Moral Kepala Daerah menjadi rusak akibat UU Cipta Kerja maka dari itu, tidak ada kata lain selain menolak," kata Martri, dalam keterangan yang diterima, Jumat (24/12/2021).
Sementara itu, Ketua Umum Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia ‘98 (PPMI ‘98) Abdul Hakim Abdullah menyatakan penolakannya atas revisi UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Selain itu dia kecewa terhadap sikap pemerintah yang tetap memberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja beserta seluruh aturan turunannya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan DPP PKS Indra menegaskan tentang konsistensi PKS dalam membela kaum buruh, bukan hanya terkait UU Cipta Kerja, tetapi jauh sebulumnya.
"Misal tahun 2006, saat PKS melakukan demonstrasi besar menolak revisi UU No 13 tentang ketenagakerjaan yang justru ingin melemahkan posisi buruh," tandasnya.
No comments:
Post a Comment