Tarik-ulur penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 2022 dan 2023 atau serentak bersama pemilihan presiden (pilpres), legislatif (pileg), dan dewan perwakilan daerah (DPD) pada 2024 masih terjadi. Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) secara tegas meminta pilkada tetap dilaksanakan pada 2022 dan 2023.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menerangkan pelaksanaan pilkada pada 2022 dan 2023 akan lebih ringan dan fokus karena beban penyelenggaraan tidak bersamaan dengan pemilu serentak 2024
Kualitas penyelenggaraan maupun iklim demokrasi pun tetap terjaga. 'Pemaksaan' untuk tetap menyelenggarakan pemilu dan pilkada pada tahun 2024 berpotensi menimbulkan korban jiwa yang lebih besar dibandingkan pemilu serentak 2019," ujarnya melalui akun twitter @MardaniAliSera, Selasa (9/2/2021).
Pada pemilu lalu, tercatat ada 894 petugas pemilu yang meninggal dunia. 5.175 orang harus dirawat di rumah sakit. "Kita tidak ingin kejadian serupa terulang," ucap anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu.
Mardani menjelaskan penyelenggaraan pilkada 2022 dan 2023 justru memperkuat praktik demokrasi dengan memberikan kesempatan munculnya kepemimpinan lokal yang lebih terdistribusi secara merata. Ini berdampak positif bagi regenerasi kepemimpinan daerah dan nasional yang berjalan secara sehat.
Saya) Setuju dengan usulan Mas Djayadi Hanan (SMRC), bagus 2024 pemilu nasional (pilpres, DPD, dan DPR pusat). Tahun 2027, pemilu provinsi (pilgub dan DPRD Provinsi) dan 2028 pilkada kota/kabupaten," paparnya.
Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menyebut nanti setiap pemilihan memiliki isu dan diskursus sendiri. Demokrasi pun menjadi sehat karena dalam lima tahun ada tiga kesempatan interaksi parpol dengan publik.
Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menyebut nanti setiap pemilihan memiliki isu dan diskursus sendiri. Demokrasi pun menjadi sehat karena dalam lima tahun ada tiga kesempatan interaksi parpol dengan publik.
Ditilik dari sisi pemilih, pilkada 2022 dan 2023 akan membuat informasi yang didapat terkait kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah lebih memadai. Hal itu karena tidak ada bentrok sosialisasi dan kampanye dengan pemilu nasional.
"Jika tetap memaksakan penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak di tahun 2024, berpeluang membuat preferensi calon pemilih lebih banyak menjadi transaksional dan emosional. Politik uang bisa kian masif, kontestasi tidak lagi berdasarkan gagasan program," jelasnya.
Mardani menyatakan Pilkada 2024 akan membuat fungsi representasi menurun. Pejabat yang terpilih merasa tidak mempunyai kontrak sosial dengan pemilih. "Terakhir dari sisi anggaran, tercapaikah efisiensi anggaran yang menjadi salah satu tujuan penyelenggaraan pemilu serentak? Tidak tercapai. Sebagai contoh alokasi APBN untuk Pemilu Serentak 2019 sebesar Rp25,12 triliun. Sedangkan Pemilu 2014 yang belum serentak berbiaya 24,8 triliun," pungkasnya.
"Jika tetap memaksakan penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak di tahun 2024, berpeluang membuat preferensi calon pemilih lebih banyak menjadi transaksional dan emosional. Politik uang bisa kian masif, kontestasi tidak lagi berdasarkan gagasan program," jelasnya.
Mardani menyatakan Pilkada 2024 akan membuat fungsi representasi menurun. Pejabat yang terpilih merasa tidak mempunyai kontrak sosial dengan pemilih. "Terakhir dari sisi anggaran, tercapaikah efisiensi anggaran yang menjadi salah satu tujuan penyelenggaraan pemilu serentak? Tidak tercapai. Sebagai contoh alokasi APBN untuk Pemilu Serentak 2019 sebesar Rp25,12 triliun. Sedangkan Pemilu 2014 yang belum serentak berbiaya 24,8 triliun," pungkasnya.
No comments:
Post a Comment