TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi II DPR Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, menyebut adanya invisible hand di balik penolakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terhadap revisi UU Pemilu.
Secara teknis ada inivisible hand ketika Jokowi menyatakan perubahan kemudian mengundang jubir, berubah," kata Mardani dalam diskusi Dewan Nasional Pegerakan Indonesia Maju, Kamis, 11 Februari 2021.
Mardani mengatakan, secara fundamental, Indonesia memiliki demokrasi yang sakit, dan demokrasi yang prosedural, bukan substansial. Di saat yang sama, kata dia, sistem merit belum terjadi. "Yang berkembang sekarang ini kandidasi mahal, dan dinasti politiknya tinggi. Money politic tetap idup dan saat yang sama governing quality rendah," ujarnya.
Menurut Mardani, praktik tirani demokrasi juga sedang berjalan dan sangat berbahaya. Pasalnya, RUU Pemilu yang telah menyatukan rezim pilkada dengan rezim pileg dan pilpres telah masuk ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk diharmonisasi. Semestinya, RUU tersebut dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR dan dibahas di panitia khusus hingga ketok palu.
"Tapi tiba-tiba semua berubah dan ini betul-betul kita cermati karena praktik-praktik tirani demokrasi kian berjalan dan sangat berbahaya," katanya.
Jika pilkada tetap dilaksanakan pada 2024, Mardani menilai domain nasional akan mendominasi. Sebab, pada pemilu serentak 2019 lalu, semua perhatian hanya terpusat pada Jokowi dan Prabowo. "Tidak ada diskursus parpol, paparan caleg, DPD apalagi DPRD provinsi, kabupaten kota, kurang," kata dia sembari menegaskan partainya terus mengawal revisi UU Pemilu.
No comments:
Post a Comment