Target pemerintah mengesahkan RUU omnibus law di bulan oktober menjadi lonceng kesengsaraan bagi petani dan sektor pertanian pada umumnya.
Arus impor pangan yang tidak terbendung di era Jokowi semakin menguatkan bahwa kesejahteraan petani bukanlah prioritas bagi pemerintah, faktanya berbagai kebijakan pangan justru merugikan petani Indonesia.
"Pasal 66 dalam RUU OBL menyatakan sumber pangan dalam negeri, cadangan pangan nasional sejajar dengan impor pangan. Ini jelas melukai dan merusak kedaulatan pangan nasional kita," jelas Riyono Ketua DPP PKS bidang Pekerja Petani dan Nelayan
Dalam UU no 18 tahun 2012 tentang Pangan memberikan mandat bahwa impor pangan hanya dilakukan jika produksi dalam negeri tidak mampu terpenuhi, itupun dilakukan bukan saat panen raya petani.
"Justru dalam RUU OBL pemerintah mengusulkan bahwa impor pangan bisa dilakukan kapan saja demi memenuhi kebutuhan dalam negeri, ini sangat berbahaya bagi petani. Prakteknya sering terjadi pemerintah melakukan impor disaat petani panen raya, akhirnya harga jatuh dan petani makin sengsara," tambah Riyono
Pasal 33 dalam RUU OBL menghapus ketentuan dalam UU no 19 tahun 2013 yang menjadikan petani sebagai soko guru bagi produksi pangan dalam negeri dengan lebih mengutamakan impor.
Riyono menjelaskan Jika impor pangan selalu menjadi kebijakan utama maka kesejahteraan petani hanya utopia, importirlah yang akan mendapatkan nilai plus dan keuntungan ekonomi. Ini jelas tidak adil dan melawan spirit nasionalisme kita untuk bangga dengan produksi dalam negeri.
Harusnya petani dan sektor pertanian yang menjadi penyelamat ditengah resesi ini diberikan penghargaan, merekalah yang memberikan sumbangsih pertumbuhan bagi penyerapan tenaga kerja nasional.
"Jika RUU OBL sektor pertanian ini tidak diubah oleh pemerintah dengan kembali ke UU 18 tentang Pangan dan UU 19 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan petani maka bisa dipastikan petani sengsara dan importir sejahtera," tutup Riyono
No comments:
Post a Comment