TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi IX Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati mempertanyakan kegentingan apa yang membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja mesti diterbitkan.
Dia menilai dalih kondisi global di balik penerbitan Perpu mengada-ngada. Pasalnya, kata dia, Presiden Jokowi baru saja membanggakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi di antara negara-negara G20.
"Jika terkait kondisi global ada inkonsistensi. Presiden Jokowi baru saja membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi di antara negara G20. Tapi jika jadi alasan penerbitan Perpu, seolah-olah kondisi Indonesia darurat dan underperform. Jadi kegentingan apa yang membuat Perppu ini hadir?" kata Kurniasih dalam keterangannya, Sabtu, 31 Desember 2022.
Dia juga menyatakan Perpu Cipta Kerja inkonsisten dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, pemerintah mestinya memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Kurniasih mengatakan penerbitan Perpu seakan menjadi jalan pintas pemerintah untuk memenuhi arahan MK.
“Yang harus dilakukan Pemerintah adalah memperbaiki UU No 11 Tahun 2020 yang inkonstitusional bersyarat sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi. Bukan dengan jalan pintas menerbitkan Perppu,” kata dia.
Pada 25 November 2021, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama 2 tahun.
UU Cipta Kerja, dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, disebut cacat formil karena proses pembentukannya yang tidak didasarkan pada cara dan metode pembentukan UU. Pembentukan UU Cipta Kerja juga diwarnai perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Kurniasih menjelaskan, pembentukan UU Cipta Kerja yang dibahas dengan DPR dinyatakan cacat formil karena prosedurnya bermasalah. Adapun penerbitan Perppu oleh pemerintah disebut Kurniasih malah menghilangkan fungsi legislasi DPR.
"MK berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Ini malah membuat Perppu untuk menggantikan dengan menghilangkan peran DPR sama sekali," kata dia.
Kurniasih turut menyoroti substansi UU Cipta Kerja yang masih bermasalah. Belum lagi, kata dia, MK juga mempertimbangkan draf RUU Cipta Kerja yang sulit diakses masyarakat dan kerap berubah-ubah.
"MK memutuskan inkonstitusional bersyarat dengan jangka dua tahun harus diperbaiki. Jika tidak, maka resmi keseluruhan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional. Ini mengeluarkan Perppu sama sekali tidak memperbaiki baik dari sisi proses maupun subtansi,” ujarnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut ada kebutuhan mendesak di balik Perppu Cipta Kerja. Pemerintah, kata dia, perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global ihwal ekonomi.
Airlangga menyebut Indonesia menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, ancaman stagflasi. Selain itu, sudah ada beberapa negara berkembang yang masuk jadi pasien International Monetary Fund (IMF).
"Kondisi krisis ini sangat nyata untuk emerging developing country," kata dia.
Airlangga menyebut putusan MK terkait UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional sangat mempengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Sehingga, Airlangga berharap terbitnya Perppu Cipta Kerja ini bisa mengisi kepastian hukum.
"Di mana mereka (dunia usaha) hampir seluruhnya masih menunggu kelanjutan dari UU Cipta Kerja," ujarnya.
Berbagai kritik yang muncul setelah Perppu terbit direspons oleh Presiden Jokowi. Ia menegaskan Perppu ini diterbitkan karena ada ancaman-ancaman risiko ketidakpastian global.
"Untuk memberikan kepastian hukum, kekosongan hukum yang dalam persepsi para investor dalam dan luar, sebetulnya itu yang paling penting," kata Jokowi.
No comments:
Post a Comment