Friday, June 10, 2022

Legislator PKS Kritik Sistem Kerja Pemerintah yang Rugikan Masyarakat

  


Jakarta (11/06) — Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan kritiknya pada sistem kerja yang terbangun di pemerintahan yang pada ujungnya ternyata merugikan masyarakat, dalam hal ini bidang pendidikan. 

Pertama, lanjut Ledia, soal alokasi anggaran APBN/APBD. Di dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan bahwa anggaran bidang pendidikan harus dialokasikan sebesar 20% dari APBN dan APBD. Sementara itu sesuai tupoksi yang tertera dalam Undang-undang No 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) anggota DPR RI memiliki tugas untuk melakukan pengawasan anggaran utamanya dalam hal implementasi.

“Tapi yang terjadi hingga saat ini, kita seringkali menemukan implementasi di lapangan yang tidak berkesesuaian meski dalam laporannya selalu disebutkan bahwa anggaran untuk pendidikan sudah diturunkan 20% atau bahkan lebih. Yang menjengkelkan, upaya untuk melakukan pengawasan serta evaluasinya terbentur sistem,” kritik Ledia dalam rapat pendahuluan pembahasan APBN 2023 yang dilakukan secara maraton selama pekan pertama Juni.

Benturan sistem yang dimaksud Aleg Fraksi PKS ini terjadi karena dalam rapat dengan Kemendikbudristek setiap kali muncul pertanyaan tentang Dana Alokasi Khusus (DAK) baik DAK Fisik maupun Non Fisik yang di dalamnya meliputi anggaran bidang kependidikan, Anggota Komisi X DPR RI tidak dapat melakukan evaluasi dengan alasan dana sudah sampai ke daerah langsung via transfer dana dari pusat ke daerah.

Sementara, lanjut Ledia, ketika dana sudah sampai di daerah maka rezim keuangannya tentu masuk ranah APBD. 

“Seharusnya ini dapat dilihat oleh teman-teman anggota DPRD yang berada di daerah, tetapi mereka juga tidak dapat melakukan pengawasan dan evaluasi, tidak bisa memeriksa karena dinas selalu menyebutkan kalau ini adalah anggaran dari pusat. Akhirnya mentok. Nggak ketemu solusi kan. Jadi di mana letak pengawasan anggarannya kalau begini,” ungkap Ledia menyesalkan.

Kedua, perubahan sistem yang terjadi seringkali tidak sinkron dengan program lama hingga menyulitkan banyak pihak

“Kemendikbudristek termasuk yang punya banyak perubahan sistem di tengah jalan. Sayang tidak ada jembatan antara sistem lama dan baru hingga memunculkan hambatan bagi banyak pihak.” Kata Ledia

Dia mencontohkan perubahan dari Silemkerma (Sistem Informasi Layanan Perizinan Kelembagaan Perguruan Tinggi) ke Siaga (Sistem Informasi Kelembagaan) atau perubahan dari BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) ke LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri).

“Beberapa perguruan tinggi yang tengah mengajukan izin jadi harus mengulang proses yang sudah dijalani karena perubahan dari Silemkerma ke Siaga. Sementara terkait sistem akreditasi yang semula ke BAN-PT lalu di tengah jalan berubah menjadi LAM akan memunculkan diantaranya soal kelulusan dan wisuda. Selama ini BAN-PT membolehkan pengurusan akreditasi pada setiap waktu, setiap saat, sementara LAM memiliki sirkulasi waktu tertentu , ada periodeisasi waktunya. Akhirnya pihak kampus, dosen hingga mahasiswa tersulitkan,” ungkapnya.

Hal lain terkait hambatan sistem diuraikan Ledia dalam bentuk persoalan bantuan bagi peserta didik. Dimana niat baik negara untuk memberikan bantuan biaya bagi peserta didik dalam bentuk KIP pada kenyataannya menjadi semacam _PHP_ (pemberian harapan palsu) karena banyak yang tidak terealisir. Ironisnya upaya lain untuk membantu justru terbentur sistem.

“Dana KIP pada level sekolah dasar dan menengah, yang semestinya diterima oleh siswa SD, SMP, SMA banyak yang tidak keluar uangnya, meskipun si peserta didik ini sudah layak mendapat bantuan dan sudah terdata. Dan hal ini tidak bisa di komplain karena sumber datanya berasal dari DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang berada di ranah Kementerian Sosial sehingga dinas pendidikan bagi kota maupun provinsi tidak bisa berbuat apa-apa.”

Ledia berkali-kali mendapatkan keluhan dan curhat dari pihak sekolah maupun keluarga siswa tidak mampu yang datanya sudah tercatat sebagai siswa layak menerima KIP tetapi dana bantuannya tidak kunjung cair.

Menyedihkannya sambung aleg dapil Kota Bandung Kota Cimahi ini pula problem lanjutannya adalah ketika anggota Komisi X DPR RI mau membantu supaya mereka yang dana KIP-nya ini tidak cair bisa mendapatkan bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) hal tersebut tidak bisa juga dilakukan karena secara sistem data siswa tersebut telah terkunci sebagai penerima KIP.

“Sistemnya tidak bisa diklik sama sekali untuk kita ajukan sebagai penerima bantuan Program Indonesia Pintar (PIP). Karena ketidaksinkronan sistem ini maka orang yang seharusnya mendapatkan bantuan malah jadi tidak dapat bantuan sama sekali. Sistem yang tidak mencairkan uangnya sistem pula yang mengunci untuk mendapatkan bantuan lain,” kritik Ledia pedas.

Karena itu selain meminta Kemendikbudristek memperbaiki sistem agar memiliki jembatan dengan sistem terdahulu hingga terjadi sinkronisasi program yang tengah berlangsung, Sekretaris Fraksi PKS ini juga meminta Kemdikbudristek membangun komunikasi dan koordinasi lebih baik dengan Kementerian dan Lembaga lain.

“Harus banyak berkomunikasi lalu mencari solusi. Bagaimana agar siswa tidak mampu bisa dipastikan dapat bantuan. Bagaimana agar anggaran pendidikan 20% dari APBN/APBD bisa terimplementasi dan terawasi. Jangan berhenti sampai membuat program, membuat sistem tapi pada kenyataannya manfaatnya tidak maksimal sampai pada masyarakat. Harus dikejar terus sampai terpecahkan semua hambatan yang ada. Jangan hanya bicara penambahan anggaran tapi hambatan-hambatan sistem terus terabaikan dan merugikan masyarakat,” tegasnya.

No comments:

Post a Comment

Wali Kota Resmikan Penggunaan Pintu Air Phb Pondok Bambu

   Wali Kota Administrasi Jakarta Timur, M. Anwar, menghadiri temu warga RW 011 Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Minggu (12/2/...