JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan sejumlah strategi untuk mencegah penurunan muka tanah di Ibu Kota.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Afan Adriansyah mengatakan, upaya tersebut dimulai dengan menyiapkan regulasi untuk mengontrol ekstraksi air tanah.
Regulasi tersebut adalah dengan terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zonasi Bebas Air Tanah.
"Jadi dalam Pergub tersebut ditetapkan bahwa tahun depan, mulai 1 Agustus 2023 untuk jalan maupun kawasan yang memang sudah dilayani air perpipaan, sudah tidak diperkenankan lagi atau dilarang mengambil atau memanfaatkan air tanah," kata Afan, dalam acara peringatan Hari Air Sedunia, di Danau Cincin, Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (22/3/2022).
Menurut Afan, ada kriteria yang diterapkan terhadap pihak yang dilarang mengambil air tanah. Misalnya air tanah tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan bangunan dengan luas lebih dari 5.000 meter persegi dan jumlah lantai lebih dari delapan.
Afan mengatakan, dalam memitigasi penurunan muka tanah, aturan tersebut juga harus dibarengi dengan cakupan air bersih hingga 100 persen.
"Posisi existing (cakupan air bersih) sekarang ini 68 persen. Kami bergerak menuju ke 100 persen pada tahun 2030," kata dia.
Agar cakupan air bersih bisa mencapai 100 persen untuk seluruh DKI, kata Afan, pemprov melakukan berbagai upaya, antara lain dengan membangun PAM domestik atau lokal, contohnya seperti SPAM Hutan Kota dengan kapasitas 500 liter per detik yang sudah beroperasi.
"Setelah SPAM Hutan Kota itu operasi, warga bisa terlayani air bersih dengan harga sangat murah, jauh berbeda dengan sebelum terbangunnya SPAM Hutan Kota tersebut," ujar dia.
Kemudian, pembangunan SPAM Regional yang dilakukan bersama pemerintah pusat seperti di Waduk Jatiluhur, Karian, dan lainnya. Termasuk juga memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh.
Ini semua kami upayakan untuk mencapai target 100 persen pada 2030," kata Afan.
Lebih lanjut Afan mengatakan, kawasan Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utaramenjadi lokasi dengan penurunan muka tanahyang paling parah.
"Di Jakarta titik yang paling tinggi penurunan muka tanahnya, di pesisir yang posisinya ada di sekitar sisi barat dan yang terparah ada di sekitar Muara Baru," kata dia.
Afan mengatakan, penurunan muka tanah tersebut terjadi karena masifnya eksploitasi terhadap air tanah.
Karena pengambilan air tanah dilakukan secara berlebihan, kata dia, maka tak mengherankan jika tanah di wilayah tersebut mengalami penurunan hingga 7,5 sentimeter setiap tahun.
No comments:
Post a Comment