Tuesday, February 8, 2022

PKS Tolak Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

 



JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi yang menolak ditetapkannya revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) menjadi usul inisiatif DPR.

Alasannya, langkah tersebut bukanlah upaya untuk perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dimaksudkan semata-mata untuk memberikan payung hukum terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ujar anggota Badan Legislasi (Baleg) Fraksi PKS Bukhori Yusuf dalam rapat paripurna DPR Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (8/2).

Fraksi PKS, kata Bukhori, berpandangan bahwa UU Cipta Kerja memiliki sejumlah poin permasalahan di dalamnya yang harus diperbaiki oleh DPR dan pemerintah. Bukan malah merevisi aturan terkait peraturan pembentukan perundang-undangan untuk memasukkan metode omnibus.

"Dengan disahkannya perubahan undang-undang (PPP) ini, maka tetap harus ada pembahasan ulang secara benar terhadap UU tentang Cipta Kerja yang telah dinyatakan cacat formil/inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi," ujar Bukhori.

Di samping itu, Fraksi PKS berpendapat, bahwa tujuan dimasukkannya metode omnibus dalam revisi UU PPP untuk mereformasi proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar menjadi lebih baik, berkualitas, dan berpihak kepada kepentingan rakyat.

Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan tumpang tindih peraturan perundang-undangan, baik dari sisi konten, muatan, maupun teknis penataannya. "Berdasarkan pengalaman penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disusun dengan menggunakan metode omnibus, alih-alih mengejar percepatan dan kepentingan penciptaan lapangan kerja, hal itu justru mengabaikan kualitas hasilnya, karena kurangnya partisipasi dari masyarakat dan para stakeholders," ujar Bukhori.

"Kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyatakan menolak untuk dilakukan pengambilan keputusan pada hari ini sebelum adanya perbaikan-perbaikan yang menjadi catatan penting FPKS," sambungnya.

Pada Selasa, DPR menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi usul inisiatif DPR. Keputusan tersebut diambil dalam forum rapat paripurna Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022.

Apakah RUU usul inisiatif Badan Legislasi tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dapat disetujui menjadi usul DPR RI?" ujar Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dijawab setuju oleh peserta rapat yang hadir, Selasa (8/2).

Sebelum rapat paripurna, Dasco menyatakan bahwa DPR menjalankan putusan MK terkait UU Cipta Kerja. Langkah pertama yang dilakukan adalah lewat revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP).

"Kita akan lakukan sesuai dengan Mahkamah Konstitusi, tetapi mengenai hal-hal lain belum bisa saya sampaikan, karena itu nanti akan dibahas di Badan Legislasi," ujar Dasco.

Ia menjelaskan, revisi UU PPP dimaksudkan agar di dalamnya mengatur omnibus sebagai salah satu metode pembetukan peraturan perundang-undangan. Agar nantinya, proses penyederhanaan tumpang tindih undang-undang lewat metode omnibus tak dinyatakan lagi inkonstitusional oleh MK.

Mungkin akan ada lagi seperti Undang-Undang Ciptaker, di mana kemudian kita menyederhanakan undang-undang agar tidak tumpang tindih, dan lain-lain, dan alasannya itu atau dasar hukumnya itu," ujar Dasco.

Baleg DPR juga menyepakati 15 poin yang akan direvisi dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam poin sembilan, nantinya akan adanya perubahan di Pasal 73 dengan menambahkan ayat baru, yakni dibolehkannya perbaikan salah ketik terhadap undang-undang yang sudah disahkan.

"Yang mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis oleh Kementerian Sekretariat Negara dalam hal masih terdapat kesalahan ketik setelah RUU yang telah disetujui bersama disampaikan oleh DPR ke Presiden untuk disahkan dan diundangkan," ujar Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi dalam rapat pleno RUU PPP, Senin (7/2). 

Adapun dalam Pasal 73 UU PPP terdapat empat ayat. Ayat 1 mengatur bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

Sementara dalam Ayat 2, dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Terhitung sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Ayat 3 berbunyi, "Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

Lalu dalam Ayat 4 berbunyi, "Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia".

PKS menolak poin sembilan revisi UU PPP terkait dibolehkannya perbaikan salah ketik terhadap undang-undang yang sudah disahkan. Menurut mereka, hal tersebut justru membenarkan praktik legislasi yang tidak baik, sehingga merendahkan marwah pembentuk undang-undang.

Meskipun hanya meliputi perbaikan salah ketik, tetapi pada praktiknya ketentuan ini rawan untuk disalahgunakan. Seperti yang terjadi pada saat pengesahan RUU Cipta Kerja, di mana terdapat perubahan materi muatan secara substansial pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekedar bersifat teknis penulisan.

"Termasuk juga mengubah substansi dan terdapat salah dalam pengutipan. Pada halaman 151-152 RUU Ciptaker yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden pada Rapat Paripurna tanggal 5 Oktober 2020, yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi," ujar Bukhori Yusuf.

Selain itu, masih terdapat banyak perubahan substansial lainnya pasca pengesahan UU Cipta Kerja yang menunjukkan adanya ketidaksinkronan. Juga adanya perubahan yang menghilangkan kepastian hukum dan terdapat pula kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal.

Hal ini berimplikasi terhadap ketidaksesuaian dengan asas 'kejelasan rumusan' yang menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah. "Serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya," ujar Bukhori. 


No comments:

Post a Comment

Wali Kota Resmikan Penggunaan Pintu Air Phb Pondok Bambu

   Wali Kota Administrasi Jakarta Timur, M. Anwar, menghadiri temu warga RW 011 Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Minggu (12/2/...