Jakarta - Pemerintah mengeluarkan aturan wajib tes PCR dan vaksin untuk penerbangan pesawat. Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta menyebut adanya muatan bisnis di balik kebijakan itu.
"Kebijakan ini aneh dan terlalu jelas motifnya. Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp2,27 triliun melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni senilai Rp 523 miliar," kata Sukamta, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/10/2024).
"Para importir kit tes PCR ini luar biasa. Berani dan punya terawangan jitu bisa menduga bahwa kebutuhan kit PCR akan meningkat. Padahal bulan lalu belum ada kebijakan soal kewajiban tes PCR dikeluarkan oleh pemerintah," imbuhnya.
Dalam keterangan resminya ini, Anggota Badan Anggaran DPR RI itu kemudian memberikan perhitungan kasar gurita bisnis tes PCR. Dari perhitungan yang dibuat, Sukamta menilai bisnis tes PCR itu memang menggiurkan.
"Kebutuhan alat tes PCR per hari sekitar 100 ribu-200 ribu kit. Artinya, sebulan bisa mencapai 2,8-5,6 juta kit. Jika harga tes PCR Rp 300.000,- saja potensinya mencapai 800 milliar sampai 1,6 triliun per bulan. Bahkan sejak pandemi Covid-19 telah dilakukan tes Covid-19 mencapai 45,52 juta dengan total estimasi nilai pasar bisnis tes Covid-19 sudah menembus angka Rp 15 triliun. Ini jelas bisnis menggiurkan di tengah pandemi yang bikin ekonomi lesu," ujarnya.
Sukamta kemudian membeberkan data bahwa perusahaan swasta yang paling banyak menikmati bisnis ini. Pertama yang diuntungkan menurutnya, negara eksportir.
Dia lantas mengacu pada data BPS impor reagent untuk tes PCR. Pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp 7,3 triliun. China dan Korea, dalam keterangan Sukamta, disebut menjadi negara eksportir terbesar senilai masing masing USD 174 juta dollar dan USD 181 juta dollar, disusul AS sebesar USD 45 juta dollar, Jerman USD 33 juta dollar.
Pihak lain yang diuntungkan, kata Sukamta, yakni perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta--menurutnya--entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen.
Oleh karena itulah, anggota Komisi I DPR ini menilai kebijakan mewajibkan PCR karena motif bisnis lebih kuat dibandingkan dengan motif kesehatan.
"Persyaratan perjalanan dalam negeri khususnya wilayah Jawa Bali dengan mewajibkan test PCR dan sudah vaksin menjadi kebijakan aneh dan di duga motif ekonomi lebih kuat dibandingkan alasan kesehatan," ujarnya.
Sukamta lalu membeberkan kejanggalan di balik kebijakan ini. Pertama, kondisi di Indonesia status Covid telah menjadi pandemi. Kasusnya menyebar merata di semua wilayah.
"Test PCR juga bukan jaminan bahwa penumpang benar-benar terbebas dari virus Covid-19. Maka mewajibkan PCR dengan kondisi persebaran massif tidak akan berdampak signifikan," ujarnya.
Kejanggalan lain, menurut Sukamta, syarat PCR dibarengi dengan syarat sudah vaksinasi. Kebijakan dinilai kontraproduktif dengan kebijakan vaksinasi.
"Syarat PCR tes membuat rakyat berpikir ulang ikut vaksinasi yang harus susah payah, panas-panasan, antrian panjang. Namun setelah vaksin tetap saja harus PCR untuk melakukan perjalanan dan kegiatan secara normal. Setelah edaran ini dijalankan rakyat menjadi malas untuk ikut vaksinasi," ujarnya.
"Vaksin telah terbukti membuat resiko kematian lebih rendah bagi orang yang terpapar Covid-19 namun vaksinasi masih jauh dari target. Seharusnya pemerintah lebih gencar mendorong pencapaian target vaksinasi bukan membuat kegaduhan
No comments:
Post a Comment