Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan perekonomian dalam negeri memiliki ancaman yang beragam, mulai dari jangka pendek, menengah dan panjang. Risiko yang harus dihadapi ini sebelumnya disampaikan oleh World Economic Forum (WEF).
Beberapa ancaman yang dimaksud berupa ketidakpastian harga hingga krisis utang sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Sedangkan untuk ancaman risiko jangka menengah yakni lima sampai 10 tahun ke depan, ada krisis perubahan iklim. Sehingga saat ini dalam berbagai forum internasional selalu dibahas mengenai kebijakan untuk memitigasinya. Selain itu, muncul juga _digital power concentration dan cyber security failure_ yang harus diwaspadai.
Menanggapi statemen Menteri keuangan tersebut, anggota komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, mengatakan di Jakarta, Kamis (28/10/2021) bahwa perubahan iklim tentu bisa berdampak bagi kondisi makro ekonomi.
“Ini dapat ditinjau baik dari sisi penawaran (supply) maupun permintaan (demand), tetapi dari sisi penawaran bisa menjadi pemicu dari dampak secara keseluruhan,” ungkapnya. Kondisi naiknya suhu, perubahan cuaca ekstrim, tekanan udara bisa berkaitan dengan penurunan produktivitas ekonomi yang secara langsung akan mempengaruhi pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pariwisata dan sebagainya,” tutur Anis.
“Hal ini akan sangat tergantung dengan kemampuan masing-masing negara untuk beradaptasi dalam menghadapi perubahan iklim. Dan iklim awal di setiap negara yang berbeda juga seharusnya akan menentukan besarnya dampak perubahan iklim terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masing-masing negara,” lanjutnya.
Anis menekankan bahwa Negara seharusnya sudah siap dengan melakukan antisipasi karena kerentanan terhadap perubahan iklim berbeda di setiap negara. Untuk itu, tanggapan kebijakan yang lebih kuat terhadap ancaman perubahan iklim, termasuk upaya mitigasi dan adaptasi harus disiapkan secara matang, sehingga tidak ada efek semakin bertambah parah jika ditambah dengan masalah simultan, seperti kesehatan dan menurunnya kualitas gizi akibat perubahan iklim tersebut.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga menegaskan bahwa teknologi digital, sudah bukan lagi perkara masa depan, namun sudah menjadi realita bagi dunia secara keseluruhan. Perkembangan teknologi yang terus meningkat tajam pun sebenarnya demi mengimbangi kebutuhan manusia akan teknologi yang semakin besar. Di setiap aspek kehidupan akan selalu ada teknologi digital yang membantu aktivitas sehari-hari sehingga menjadikan lebih efisien. “Bahkan dalam kondisi seperti sekarang ini, sektor komunikasi menjadi bukti nyata bahwa pandemi mendorong masyarakat Indonesia untuk segera melakukan transisi dari manual ke era teknologi digital. Justru kita harus bisa meningkatkan perekonomian dengan memanfaatkan teknologi digital ini,” jelasnya.
Pandemi mau tidak mau merupakan satu faktor yang memicu pergeseran aktivitas dari offline menuju online karena keterbatasan ruang gerak selama pandemi. Kondisi ini menjadi hal baru bagi para pelajar dan pekerja yang harus beradaptasi dengan beraktivitas secara online di rumah, baik itu untuk bekerja maupun untuk mengikuti pembelajaran. Sedangkan bagi masyarakat dan bisnis yang tadinya belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi digital, saat ini “dipaksa” untuk segera hidup berdampingan bersama teknologi digital itu sendiri. “Sebagaimana kita tahu bahwa di masa pandemi ini e-learning, video conference, e-health, dan online fitness pun tercatat mengalami kenaikan 50%-90% dari segi _user growth_. Sementara aplikasi seperti _online pickup_ di restoran, _grocery delivery_, sampai dengan _online streaming_ juga mengalami pertumbuhan hingga 44%,” tambahnya.
Dan transisi dari aktivitas offline ke online pasti menyebabkan kebutuhan akan pekerja digital meningkat. Sebagai contoh, e-commerce dan media sosial selama beraktivitas di rumah. Hal ini sangat baik karena menjadi peluang bagi para job seekers untuk aktif berbisnis dan berkarya di dunia maya.
Adapun tentang prediksi tingginya harga minyak, politisi senior PKS ini menyatakan harus ada antisipasi dini dari Pemerintah. Jangan sampai hal ini menjadi salah satu faktor terhambatnya pemulihan ekonomi karena harga minyak yang mahal bisa membuat inflasi ikut naik. “Hal ini dapat berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat. Tentu pemerintah harus segera melakukan mitigasi risiko sehingga hal ini tidak terjadi di tengah proses pemulihan ekonomi dampak pandemic,” pungkasnya.
No comments:
Post a Comment