TEMPO.CO, Jakarta - Anggota komisi VII DPR, Mulyanto, ragu kebijakan Presiden Joko Widodo alias Jokowi menerapkan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) dapat menurunkan harga minyak goreng. Sebab, kebijakan itu sudah pernah diberlakukan, namun tidak berdampak terhadap harga jual minyak di pasar.
Dia menyebut eksportir crude palm oil(CPO) belum tentu memiliki kebun sawit dan jaringan pemasaran domestik. Walhasil, pemberlakuan DMO bagi eksportir akan merumitkan pelaku usaha.
"Lain halnya dengan penerapan DMO batu bara. Eksportir batu bara juga adalah produsen batu bara itu sendiri," kata Mulyanto dalam keterangan tertulis, Kamis, 26 Mei 2022.
Mulyanto mengungkapkan saat kebijakan DMO diterapkan, kemudian diganti dengan larangan ekspor CPO, harga minyak goreng curah tetap di atas harga eceran tertinggi (HET). Di saat yang sama, bahan baku minyak goreng menjadi berlimpah di dalam negeri dan tandan buah segar (TBS) di tingkat petani tidak terserap.
Dengan kondisi ini, Mulyanto melihat penyebab harga minyak goreng melonjak dan masalah kelangkaan pasokan di pasar sejatinya bukan berakar dari ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Melainkan, dugaan adanya pengusaha nakal dan mafia minyak goreng yang mengganggu stabilitas pasokannya.
Dia pun meminta Jokowi bertindak tegas terhadap para mafia. “Jangan ragu-ragu dan jangan pandang-bulu kepada para pengusaha (sawit) nakal dan mafia minyak goreng yang sudah menyusahkan masyarakat dan negara ini,” ujar politikus Partai PKS itu.
Jokowi, kata Mulyanto, bisa mencabut izin produksi termasuk mencabut hak guna usaha (HGU) atas lahan negara yang digunakan bila pengusaha terbukti melakukan penyelewengan. Di sisi lain, untuk jangka panjang, dia mengatakan pemerintah harus mengubah struktur pasar minyak goreng yang oligopolistik menjadi pasar yang adil.
“Peran koperasi dan BUMD/BUMN harus didorong untuk memproduksi minyak goreng bagi keperluan domestik,” ucapnya.
No comments:
Post a Comment