TEMPO.CO, Jakarta - Anggota DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengkritisi daftar ciri penceramah radikal yang telah dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Daftar itu disebut diterbitkan setelah Presiden Joko Widodo menyinggung penceramah radikal dalam rapat pimpinan TNI-Polri pada Selasa, 1 Maret 2022.
Penceramah radikal katanya memiliki ciri di antaranya: mengajarkan anti-Pancasila dan pro khilafah; mengajarkan paham takfiri; sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah; sikap eksklusif; dan anti budaya/kearifan lokal keagamaan.
Namun, Bukhori melanjutkan, beberapa saat setelah rilis tersebut terbit, publik digegerkan dengan beredarnya pesan yang menyebut Ustaz Abdul Somad (UAS) dan Felix Siauw masuk dalam daftar penceramah yang terindikasi radikal dan intoleran.
Menurut Anggota Komisi VIII DPR cara pencegahan radikalisme yang dilakukan oleh BNPT model tersebut dapat memicu kesalahpahaman dan perpecahan di tengah masyarakat. Daftar ini, kata dia, juga terkesean menyudutkan umat Islam.
Masalah pencegahan radikalisme tidak bisa ditanggulangi dengan strategi yang berisiko membelah masyarakat," kata dia dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 9 Maret 2022.
Indikator yang dipaparkan oleh BNPT ini menurut Bukhori cenderung sumir sehingga dapat memicu tafsir liar bagi masyarakat awam karena tidak dibarengi oleh penjelasan yang komprehensif pada setiap poin indikatornya.
"Maka, sangat wajar muncul kekhawatiran bila sejumlah indikator tersebut berpotensi disalahpahami oleh sebagian pihak, kemudian mengkristal dalam perasaan saling curiga ataupun sentimen yang pada akhirnya bermuara pada disharmoni sosial,” ucapnya.
Dalam konteks global, Bukhori melanjutkan, stigma terhadap radikalisme, khususnya yang menyasar umat Islam, kian memudar di berbagai belahan dunia. Salah satu buktinya adalah prakarsa DPR Amerika Serikat, yang juga didukung oleh Presidennya, dengan meloloskan Undang-Undang Anti-Islamofobia pada 14 Desember 2021.
Selain AS, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau juga dikatakan Bukhori telah mengumumkan akan segera mengangkat duta besar khusus untuk memerangi Islamofobia.
Atas dasari itu, masyarakat dunia dinilainya telah tiba pada satu kesadaran bahwa akar dari radikalisme bukanlah agama. Narasi agama sebagai basis kekerasan yang dikemas dalam bentuk Islamofobia dianggap Bukhori sudah usang di Barat maupun di belahan dunia lainnya.
"Sehingga, ketika kita masih berkubang dalam narasi serupa, maka sangat tidak relevan dengan apa yang menjadi isu prioritas global saat ini seperti mitigasi dampak perubahan iklim dan pemulihan dari pandemi,” tegasnya.
Bukhori menganggap pangkal radikalisme pada dasarnya adalah ketidakadilan, baik di bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Tidak hanya itu, hilangnya kesejahteraan dan rasa aman serta munculnya rasa keterasingan di negeri sendiri juga turut berkontribusi terhadap munculnya bibit-bibit radikalisme.
“Jadi akar masalahnya bukan terletak pada agama. Benih-benih kekerasan itu dapat muncul, salah satunya, akibat kian lebarnya jurang ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin," paparnya.
Bukhori menekankan, ketimpangan ini muncul ketika pengelolaan sumber daya ekonomi seperti perkebunan, pertambangan, hutan, dan air bersih dilakukan secara tidak adil karena didominasi oleh kekuatan kapitalis.
"Sementara di saat yang sama, Negara gagal menunjukan pembelaan yang nyata kepada rakyatnya dan dibuat tidak berkutik di hadapan kekuatan oligarki ekonomi-politik,” tuturnya.
Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, rakyat yang merasa tertindas akibat ketidakberdayaan Negara dalam membela kepentingan mereka menjadi rentan untuk disusupi oleh paham radikalisme-ekstremisme. Apalagi, paham ini menawarkan metode perlawanan untuk mengatasi hegemoni kapitalis dan pemerintah yang dianggap bersekongkol merampas sumberdaya mereka, jelasnya.
Legislator Dapil Jawa Tengah 1 ini menjelaskan, salah satu cara untuk memutus mata rantai radikalisme adalah dengan mengatasi ketidakadilan di berbagai aspek yang bersentuhan dengan kebutuhan dasar masyarakat.
"Negara harus hadir menjawab persoalan ketidakadilan di tengah masyarakat melalui instrumen kebijakan yang memihak pada kaum yang lemah serta konsisten menunaikan amanat konstitusi," kata Bukhori.
Sebelumnya, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid mengatakan pernyataan Presiden Jokowi Widodo terkait penceramah radikal merupakan peringatan kuat untuk meningkatkan kewaspadaan nasional.
“Sejak awal kami sudah menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini. Radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama,” katanya dalam keterangan tertulis Sabtu 5 Maret 2022.
Sementara itu, untuk mengetahui penceramah radikal, Nurwakhid mengurai beberapa indikator yang bisa dilihat dari isi materi yang disampaikan bukan tampilan penceramah.
Setidaknya, menurut Nurwakhid, ada lima indikator. Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
Ketiga, menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks.
Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan.
“Mengenali ciri-ciri penceramah jangan terjebak pada tampilan, tetapi isi ceramah dan cara pandang mereka dalam melihat persoalan keagamaan yang selalu dibenturkan dengan wawasan kebangsaan, kebudayaan, dan keragaman,” katanya pula.
Sejalan dengan itu, Nurwakhid juga menegaskan strategi kelompok radikalisme memang bertujuan untuk menghancurkan Indonesia melalui berbagai strategi yang menanamkan doktrin dan narasi ke tengah masyarakat.
No comments:
Post a Comment