Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ), Anis Byarwati mengingatkan kekhawatiran BPK RI yang menyatakan meningkatnya utang pemerintah karena Pandemi Covid-19, sangat berbahaya. Dalam rapat rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Negara/Ketua Bappenas Anis meminta pemerintah tidak menambah utang lewat SBN. "Sehingga kita perlu tahu seberapa rendah bunga yang dimaksud,” katanya, Rabu (23/6/2021).
Diketahui, dalam rapat paripurna DPR RI pada Selasa (22/6/2021), BPK menyampaikan kekhawatirannya pemerintah tidak mampu membayar utang dan bunga utang, mengingat beberapa indikator yang cukup mengkhawatirkan.
Indikator pertama, tren pertumbuhan utang yang sangat jauh dibandingkan dengan pertumbuhan PDB dan indikator kedua rasio debt service Indonesia terhadap penerimaan sebesar 46,77, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan yang mencapai 19,06% juga melampaui saran IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-10%.
Anis mencatat persoalan utama utang Indonesia adalah tumbuh lebih tinggi, baik dibandingkan penerimaan negara maupun pertumbuhan ekonomi. Akibatnya Indonesia hanya berputar-putar dalam lllingkaran utang. “Sehingga Indonesia semakin terjebak dalam utang,” ungkapnya.
Anis yang juga menjabat sebagai wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menyorot porsi utang dalam valas memang menurun menjadi 13% dari total utang pemerintah. Akan tetapi, menurut Anis, nilai rupiah yang cenderung terdepresiasi menyebabkan utang negara semakin riskan baik dalam hal cicilan pokok maupun bunganya.
“Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita masih mengatakan utang kita aman-aman saja,” kata Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini
Anis kemudian menegaskan bahwa perlu dilakukan kajian lebih dalam terkait rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang benar-benar mencerminkan kondisi riil. “Selama ini, perhitungan yang dilakukan hanya utang pemerintah pusat terhadap PDB. Sedangkan utang BUMN tidak dimasukan dalam hitungan. Praktik di negara-negara lain utang BUMN termasuk dalam kalkulasi rasio tersebut,” ujar Anis.
Anis yang juga menjabat sebagai wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menyorot porsi utang dalam valas memang menurun menjadi 13% dari total utang pemerintah. Akan tetapi, menurut Anis, nilai rupiah yang cenderung terdepresiasi menyebabkan utang negara semakin riskan baik dalam hal cicilan pokok maupun bunganya.
“Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita masih mengatakan utang kita aman-aman saja,” kata Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini
Anis kemudian menegaskan bahwa perlu dilakukan kajian lebih dalam terkait rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang benar-benar mencerminkan kondisi riil. “Selama ini, perhitungan yang dilakukan hanya utang pemerintah pusat terhadap PDB. Sedangkan utang BUMN tidak dimasukan dalam hitungan. Praktik di negara-negara lain utang BUMN termasuk dalam kalkulasi rasio tersebut,” ujar Anis.
Sejalan dengan itu, Anis menegaskan perlu klarifikasi apakah perhitungan rasio hutang pemerintah Indonesia terhadap PDB sudah apple to apple dengan perhitungan di negara lain? “Tidak masuknya utang BUMN dalam hitungan, menyebabkan rasio utang Indonesia menjadi cukup rendah. Ini perlu klarifikasi,” pintanya.
Catatan keempat terkait data rasio utang terhadap ekspor yang telah mencapai 209%. “Agar publik faham bahwa utang kita tidak baik-baik saja,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui rasio utang ini semakin mengkhawatirkan karena ekspor Indonesia menghadapi tantangan penolakan dari negara-negara lain dengan alasan lingkungan. Ekspor yang di tolak di negara lain itu seperti CPO dan Batubara.
Sebagaimana diketahui rasio utang ini semakin mengkhawatirkan karena ekspor Indonesia menghadapi tantangan penolakan dari negara-negara lain dengan alasan lingkungan. Ekspor yang di tolak di negara lain itu seperti CPO dan Batubara.
No comments:
Post a Comment